Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Edhi Baskoro Yudoyono (tengah). |
JAKARTA | GLOBAL SUMUT-Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Edhi Baskoro Yudoyono mengungkapkan, kebijakan terhadap BBM Indonesia hari ini, sebaiknya tidak hanya berdampak terhadap produksi BBM pada saat ini saja, tetapi juga di masa yang akan datang. “Kebijakan BBM kita hari ini, harus mampu melindungi kebutuhan generasi kita terhadap BBM dimasa yang akan datang,” ujar Ibas di ruang rapat Banggar DPR RI, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Pernyataan tersebut disampaikan Ibas, sapaan akrabnya, saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama pakar dan ahli minyak dan gas (migas) yang menghadirkan Arcandra Tahar, selaku pakar migas nasional dan Hadi Ismoyo selaku Sekjen Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI).
Di awal acara, Ibas menyampaikan bahwa RDPU bersama ahli minyak dan gas, sangat penting dan strategis bagi Banggar, sebagai bahan dalam persiapan pembahasan RAPBN 2021. “Kita ingin mendengarkan informasi dan analisa terhadap kondisi harga dan produksi BBM saat ini. Mengingat kondisi politik dan keamanan di Timur Tengah, sehingga kita bisa membuat keputusan yang tepat terhadap kebijakan BBM nantinya,” papar Ibas.
Dalam paparannya, Arcandra Tahar mengungkapkan bahwa, konflik Timur Tengah secara langsung tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi produksi minyak dalam negeri. Suplai minyak mentah Indonesia tidak tergantung dari negara-negara di Timur Tengah.
Minyak mentah impor Indonesia sebesar 29,4 persen berasal dari Nigeria. Kemudian sebesar 41 persen dari Saudi Arabia, lalu 14,2 persen dari Australia, 5 persen dari Aljazair. Negara tersebut merupkan pemasok lima besar minyak mentah ke Indonesia. Oleh sebab itu, jika terjadi konflik di Timur Tengah memang berdampak, tetapi pengaruhnya tidak terlalu signifikan bagi Indonesia, karena Indonesia punya banyak alternatif suplai minyak dari beberapa negara.
Berubahnya konsep Cost Recovery menjadi Gross Split telah memberikan dampak bagi sektor BBM di Indonesia. “Skema kontrak bagi hasil kotor atau gross split lebih menarik investor dalam mengelola blok minyak dan gas bumi dari pada cost recovery. Terbukti, semenjak diganti menjadi gross split tahun 2017, kita sudah berhasil melelang blok migas, lima di tahun 2017, sembilan di tahun 2018 dan tiga di tahun 2019,” ungkap Arcandra.
Sedangkan Hadi Ismoyo mengungkapkan bahwa, Perang tidak berdampak langsung pada produksi migas nasional namun berdampak pada revenue melalui mekanisme harga. “Jika diperlukan, impor dari Saudi Arabia dapat dialihkan ke negara-negara produsen lain seperti Afrika Barat, Rusia, AS, Amerika Latin.”
“Dalam jangka Panjang, yang perlu jadi perhatian adalah meningkatkan produksi migas nasional, sehingga untuk menuju roadmap 1 juta barrel minyak per hari pada 2030, perlu menyatukan visi dan misi seluruh stakeholdermigas baik teknis maupun non teknis,” ungkap Hadi.[red]
Posting Komentar
Posting Komentar