![]() |
Ahmad Sahroni – Anggota DPR Dapil Jakarta II |
JAKARTRA
| GLOBAL SUMUT-Gegap gempita perhelatan partai final Piala Presiden
2018 yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno tidak hanya menyisakan
kerusakan akan tetapi sejumlah PR. Pasalnya, euforia kemenangan Persija
atas Bali United, Sabtu (17/2) kemarin, tercoreng oleh ulah pengrusakan
sejumlah oknum suporter.
Soal
perilaku suporter bola ini memang bukan cerita baru di Tanah Air.
Berbagai kasus sudah banyak terjadi. Persija sendiri pernah dihukum
bertanding tanpa suporter lantaran ulah beberapa oknum Jakmania.
Kejadian
serupa juga terjadi saat laga Timnas kontra Islandia. Beberapa suporter
bandel dikabarkan menginjak kursi stadion dan duduk di sandaran.
Padahal sudah ada ajakan ‘Ayo Jaga GBK’.
Oleh
karena itu dibutuhkan upaya yang lebih maju dalam menyikapi kejadian
semacam ini. Rusaknya beberapa fasilitas di GBK Sabtu kemarin tidak bisa
hanya direspon dengan penyesalan atau anjuran semata.
Anggota DPR dapil Jakarta III Ahmad Sahroni berpendapat, dibutuhkan modalitas dari pihak GBK untuk mendidik para suporter.
Menurutnya, setidaknya ada dua modalitas. Pertama, modalitas makro. Dunia pendidikan memang mau tidak mau menjadi kunci di sini.
“Dunia
pendidikan harus mampu mendidik anak didiknya tentang pentingnya
menjaga sarana publik. GBK itu kan milik kita bersama, harus kita juga
yang menjaganya,” ucap Roni saat dimintai pendapatnya tentang perilaku
Jakmania, Senin (19/2).
Yang
kedua, Roni melanjutkan, modalitas mikro yang dalam bayangannya ada dua
hal. Pertama, penonton harus membayar. Dengan membayar, penyelenggara
dituntut harus menyediakan fasilitas yang setimpal dengan harga yang
dibayar.
“Demikian
juga penonton, setelah mendapatkan berbagai fasilitas yang dipenuhi
oleh penyelenggara, berupa keamanan, kenyamanan, kepuasan, harus
mematuhi apa yang menjadi aturan di tempat tersebut,” tandasnya.
Menurutnya,
sesuatu yang didapat secara gratis biasanya tidak akan mendapatkan
penghargaan. “Dengan membayar, itu berarti dia menghargai apa yang akan
didapat atau ditontonnya. Kalau perlu agak mahal harga tiketnya,”
imbuhnya.
Namun
itu saja belum cukup. Roni yang juga fans Persija ini melanjutkan,
dibutuhkan satuan tugas (task force) yang secara terukur bisa memantau
para penonton.
Dia
merujuk penyelenggaran Liga Inggris yang dinilainya cukup tertib.
Selain karena ada aturan, di sana selalu ada petugas yang siap sedia
memantau gerak-gerik penonton yang melanggar ketertiban di stadion.
Siapa yang berbuat onar, akan diciduk oleh satuan tugas tersebut.
Konsekuensi
dari hal ini adalah adanya hukuman yang jelas dan sebisa mungkin
membuat jera pelaku pelanggaran. “Bisa denda yang memberatkan, atau
kurungan, atau lainnya. Itu bisa dirumuskan,” tambahnya.
Saat
ditanya bahwa hal ini akan memakan biaya tambahan, menurut Roni,
sepanjang hal tersebut setimpal dan bisa menjadi bagian dari pendidikan
bagi warga, tidak menjadi soal.
“Mengapa
tidak? Ga ada satuan tugas juga tetap keluar uang untuk biaya
perbaikan. Lebih baik keluarnya biaya untuk sesuatu hal yang ada unsur
pendidikannya kan?” Tutupnya.[red]
Posting Komentar
Posting Komentar