JAKARTA | GLOBAL SUMUT-Pemerintah diingatkan tidak menggunakan dana hasil cukai tembakau untuk menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BJPS). Penggunaan dana cukai tembakau untuk menambal defisit seakan-akan mengesankan, penyebab penyakit yang membebani BPJS semua berasal perokok. Jelas saja, ada kesan simplifikasi alias mau gampangnya saja dari pemerintah.
"Sebenarnya tidak tepat jika dana cukai rokok yang digunakan untuk tutup defisit BPJS. Seolah olah penyebab penyakit yang membebani BPJS semua berasal dari perokok. Ini kan salah kaprah," tegas Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, dalam keterangan pers, Jumat (5/1).
Ia mengingatkan, jika pemerintah ingin kejar pajak dosa atau sin tax jangan menggunakan cukai rokok saja.
Sayangnya, kata Bhima, Indonesia termasuk Negara penganut extremly narrow atau sempit dalam menerapkan cukai.
Sejak adanya peraturan soal cukai, Bhima menjelaskan, hingga hari ini hanya ada 3 barang yang dikenakan tarif cukai yakni rokok, alkohol dan etil alkohol.
Dari 3 barang itu 95% hasil cukai berasal dari rokok. Sedangkan Thailand dan Singapuram punya lebih dari 10 barang kena cukai dan tidak bergantung dari rokok semata.
Sebaiknya, kata Bhima, Pemerintah sekarang fokus saja pada perluasan barang kena cukai yang berbahaya bagi kesehatan selain rokok. Logika sederhananya apa, asap kendaraan bermotor juga sama beresikonya dengan asap rokok. Sekedar catatan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sudah 18 juta unit, lebih dari penduduk yang hanya 10,3 juta orang. Selain untuk mengurangi dampak polusi udara bagi kesehatan dan lingkungan pajak dosa kendaraan bermotor juga bisa digunakan untuk iuran defisit BPJS Kesehatan. Hasil hitung-hitungan INDEF tahun 2016, total penerimaan cukai kendaraan bermotor baik mobil dan sepeda motor bisa mencapai Rp5 triliun per tahun. Potensi pajak dosa lainnya tentu minuman berpemanis. Diabetes penyumbang kematian No.3 di Indonesia menurut data WHO.
"Kenapa minuman berpemanis tidak menjadi sasaran pajak dosa? " tanya Bhima.
Sekali lagi, ditegaskan Bhima, jebolnya keuangan BPJS Kesehatan membuka peluang agar Pemerintah lebih kreatif memperluas basis pajak dosa.
Tentunya juga harus dibicarakan baik-baik dengan pelaku industri bahwa cukai yang dipungut merupakan sebuah ikhtiar untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik bagi para masyarakat yang kebetulan juga konsumen produk berbahaya itu. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, ada alokasi dana Rp5 triliun yang bisa digunakan untuk menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk tahun depan. Dana tersebut berasal dari 50 persen Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang bisa digunakan untuk kebutuhan prioritas daerah, seperti kesehatan. Namun demikian, tak separuh DBH CHT itu masuk ke kantong BPJS kesehatan. Diperkirakan, hanya sekitar 75 persen di antaranya yang mengalir ke lembaga eks PT Askes (Persero) tersebut.
"Kami bisa gunakan 75 persen dari 50 persen earmarking, kira-kira kontribusinya mencapai lebih dari Rp5 triliun," ujarnya di Kementerian Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Senin (6/11/2017).
Hanya saja, ia belum menjelaskan lebih rinci, apakah estimasi alokasi dana Rp5 triliun itu akan langsung disuntik seluruhnya ke kantong BPJS Kesehatan atau hanya diberikan sesuai dengan besaran defisit yang setiap tahun ditanggung oleh BPJS Kesehatan.[rs]
"Sebenarnya tidak tepat jika dana cukai rokok yang digunakan untuk tutup defisit BPJS. Seolah olah penyebab penyakit yang membebani BPJS semua berasal dari perokok. Ini kan salah kaprah," tegas Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, dalam keterangan pers, Jumat (5/1).
Ia mengingatkan, jika pemerintah ingin kejar pajak dosa atau sin tax jangan menggunakan cukai rokok saja.
Sayangnya, kata Bhima, Indonesia termasuk Negara penganut extremly narrow atau sempit dalam menerapkan cukai.
Sejak adanya peraturan soal cukai, Bhima menjelaskan, hingga hari ini hanya ada 3 barang yang dikenakan tarif cukai yakni rokok, alkohol dan etil alkohol.
Dari 3 barang itu 95% hasil cukai berasal dari rokok. Sedangkan Thailand dan Singapuram punya lebih dari 10 barang kena cukai dan tidak bergantung dari rokok semata.
Sebaiknya, kata Bhima, Pemerintah sekarang fokus saja pada perluasan barang kena cukai yang berbahaya bagi kesehatan selain rokok. Logika sederhananya apa, asap kendaraan bermotor juga sama beresikonya dengan asap rokok. Sekedar catatan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sudah 18 juta unit, lebih dari penduduk yang hanya 10,3 juta orang. Selain untuk mengurangi dampak polusi udara bagi kesehatan dan lingkungan pajak dosa kendaraan bermotor juga bisa digunakan untuk iuran defisit BPJS Kesehatan. Hasil hitung-hitungan INDEF tahun 2016, total penerimaan cukai kendaraan bermotor baik mobil dan sepeda motor bisa mencapai Rp5 triliun per tahun. Potensi pajak dosa lainnya tentu minuman berpemanis. Diabetes penyumbang kematian No.3 di Indonesia menurut data WHO.
"Kenapa minuman berpemanis tidak menjadi sasaran pajak dosa? " tanya Bhima.
Sekali lagi, ditegaskan Bhima, jebolnya keuangan BPJS Kesehatan membuka peluang agar Pemerintah lebih kreatif memperluas basis pajak dosa.
Tentunya juga harus dibicarakan baik-baik dengan pelaku industri bahwa cukai yang dipungut merupakan sebuah ikhtiar untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik bagi para masyarakat yang kebetulan juga konsumen produk berbahaya itu. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, ada alokasi dana Rp5 triliun yang bisa digunakan untuk menambal defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk tahun depan. Dana tersebut berasal dari 50 persen Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang bisa digunakan untuk kebutuhan prioritas daerah, seperti kesehatan. Namun demikian, tak separuh DBH CHT itu masuk ke kantong BPJS kesehatan. Diperkirakan, hanya sekitar 75 persen di antaranya yang mengalir ke lembaga eks PT Askes (Persero) tersebut.
"Kami bisa gunakan 75 persen dari 50 persen earmarking, kira-kira kontribusinya mencapai lebih dari Rp5 triliun," ujarnya di Kementerian Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Senin (6/11/2017).
Hanya saja, ia belum menjelaskan lebih rinci, apakah estimasi alokasi dana Rp5 triliun itu akan langsung disuntik seluruhnya ke kantong BPJS Kesehatan atau hanya diberikan sesuai dengan besaran defisit yang setiap tahun ditanggung oleh BPJS Kesehatan.[rs]
Posting Komentar
Posting Komentar