JAKARTA | GLOBAL SUMUT-Peringkat Indonesia yang masih
bertengger hingga hari ini di posisi ke-5 di ajang SEA Games 2017
selaras dengan posisi konsumsi listrik per kapita Indonesia
dibandingkan empat negara ASEAN lainnya yakni Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Vietnam.
"Mungkin
posisi ke - 5 (peringkat perolehan emas) hanya kebetulan saja tapi ini
fakta seperti korelasi capaian di SEA Games dengan kemampuan supply
listrik Nasional yang relatif masih sangat rendah," ucap anggota Komisi
VII DPR Kurtubi di Kompleks Parlemen, Selasa (29/8).
Kurtubi
menerangkan bahwa total kapasitas pembangkit dari suatu negaralah yang
menjadi gambaran kemampuan negara itu menyuplai listriknya.
Politisi
NasDem ini menilai, dengan total pembangkit listrik yang dimiliki
Indonesia sekitar 65.000 MW saat ini, belum cukup untuk menerangi
seluruh pelosok daerah dengan penduduk berjumlah 250 juta tersebut.
"Bayangkan
saja, Tiongkok dengan penduduk 5 kali penduduk Indonesia, kapasitas
pembangkit yang dimilikinya 28 kali kapasitas pembangkit Indonesia atau
setara 1.600.000 MW untuk mencukupi kelistrikannya," tandasnya.
Oleh
karena itu dia berharap, sudah saatnya Indonesia memasukkan program
PLTN komersial (bukan hanya PLTN Experiment) dalam Sistem Kelistrikan
Nasional, bukan seperti selama ini yang hanya dijadikan opsi terakhir.
"Segera
revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rancangan Umum Energi
Nasional - Daerah (RUEN - RUED) yg menempatkan PLTN sebagai opsi
terakhir. Menghambat PLTN komersial dibangun di Indonesia, ini berarti
menghambat peningkatan kesejahteraan rakyat," tegas Ketua Kaukus Nuklir
Parlemen ini.
Jauh
sebelum negara tirai bambu itu memiliki PLTN, terang Kurtubi, pada era
1950-an, dengan visionernya Bung Karno telah bercita-cita RI menguasai
energi dan memiliki pembangkitnya.
"Kita
kehabisan waktu berdebat pro-kontra antar anak bangsa soal PLTN ini.
Negara lain sudah melangkah jauh," ucapnya menyayangkan.
Menurutnya,
sumber daya manusia Indonesia sudah siap. Ini ditunjukkan dengan setiap
tahunnya beberapa perguruan tinggi seperti ITB dan UGM mencetak lulusan
sarjana nuklir.
Tidak
hanya itu, kelembagaan untuk meneliti dan meriset persoalan nuklir,
Indonesia sudah mempersiapkan setidaknya dua lembaga yakni Badan Tenaga
Nuklir Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
"Ikhtiar
mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
dan pengetahuan ilmu nuklir, tidak boleh dihambat oleh sikap fanatik
anti nuklir dari segelintir orang atau kelompok," pungkasnya.[red]
Posting Komentar
Posting Komentar