JAKARTA
| GLOBAL SUMUT-Himpungan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta
pemerintah untuk memperbaiki iklim industri dan iklim bisnis agar tren
kenaikan impor berbagai barang bisa ditekan.
Seperti
diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan
Indonesia hanya surplus US$ 474 juta pada Mei 2017. Ini merupakan
surplus terendah dalam setahun terakhir karena lonjakan impor, khususnya
impor nonmigas.
Ketua
Bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pengurus Pusat Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira mengungkapkan, tren lonjakan
impor dalam jangka panjang tentu tidak positif, karena ujungnya memukul
industri dan merugikan pengusaha nasional.
"Indonesia
saat ini terjebak dalam pluktokrasi dibarengi oleh pencari rente.
Ditambah lagi ada fenomena kleptokrasi, tak heran fundamental ekonomi
kita semakin lemah. Ini diperparah dengan sistem ekonomi politik yang
sangat liberal dan tidak menciptakan meritokrasi," ucap Anggawira,
kepada media.
Ia
mengatakan, problem kebijkan impor ini sebenarnya sudah sangat terasa
dari masa pemerintahan SBY. Kenaikan impor, memberi pesan, bahwa
pemerintah terkesan mau gampang saja.
Kalau
pun impor, seharusnya, barang yang diimpor pun dicek terlebih dahulu
apakah memang dibutuhkan dan juga apakah produksnya sesuai dengan
standar di Indonesia.
Di
era pemerintah sekarang pun, impor selalu jadi pilihan ketimbang
mendorong industri dalam negeri. Sebagai pengusaha, ia juga menilai ada
situasi yang kurang pas. BUMN yang harusnya bersinergi dengan swasta,
menjadi motor penggerak ekonomi, justru masuk ke wilayah yang dilakukan
swasta.
Di sisi lain,
ia mewanti-wanti, jika semua pintu impor dibuka, maka tentu saja ada
dampak buruk yang tak terelakkan yakni industri dalam negeri tidak
berkembang.
"Ibaratnya, jika impor makin besar, ibarat perahu yang sudah mau karam.
Agar tak terjadi, harus benar-banar dipilih dan tentukan komoditas
strategis nasional. Meski di sisi lain, tidak mungkin kita juga mau
swasembada semua. Perlu konsistensi di pemerintah sendiri. Misal garam,
sangat tidak logis jika harus impor terus. Masak BUMN jadi trader, nanti
korup," tegasnya.
Menurut
Anggawira, perlu ada perbaikan dari sisi suplai chain atau rantai pasok
agar berbagai produk di Indonesia, seperti komoditi pangan, bisa
terdistribusi merata sehingga impor-impor pangan bisa dihindari.
Ia
berharap BUMN bisa bekerjasama dengan swasta tidak hanya bersinergi
sesama BUMN saja. Jangan ada kesan, di tengah situasi ekonomi masih
sulit, justru swasta ditinggalkan.
"Problem
utamanya bukan produksi tapi suplai chain, sdh ada best practice yang
ada tinggal dimodifikasi. Benahi juga tata kelola distribusi barang.
Tentu saja, konsistensi kebijakan juga diperlukan," tegasnya.[rs]
Posting Komentar
Posting Komentar