MEDAN
| GLOBAL SUMUT-Panggung Seni Budaya (PSB) yang digelar Dinas Pariwisata
Kota Medan telah menjadi alternatif hiburan gratis dan berkualitas bagi
warga Medan di akhir pekan. Dari tiga kali pergelaran, jumlah penonton
kian bertambah. Pada pergelaran Sabtu (6/5) di Jalan Pulau Pinang, yang
menampilkan seni budaya Batak, penonton yang tidak kebagian tempat,
harus duduk lesehan di depan panggung.
Bersama
Wakil Walikota Medan, Ir Akhyar Nasution MSi, para penonton yang
menikmati berbagai sajian kesenian yang ditampilkan di atas panggung.
Tidak hanya musik, lagu, tarian, namun juga pementasan teater dan
diakhiri dengan manortor bersama meninggalkan kesan bagi para
pengunjung.
“Enak juga
ya. Malam minggu depan kemari lagilah nonton Panggung Seni Budaya.,”
ujar Iqbal, salah seorang penonton yang tinggal di kecamatan Medan
Barat.
Dia mengaku
puas dengan penampilan para seniman. Apalagi di akhir acara, para
seluruh penonton manortor bersama, termasuk dengan Wakil Walikota Medan.
Menurutnya, ada kebersamaan yang terjalin dalam panggung kesenian
tersebut.
Panggung
kesenian yang juga dihadiri oleh Plt Kepala Dinas Pariwisata Budi
Hariono, Kadis Perhubungan Redward Parapat dan segenap pejabat Pemko
Medan itu, diawali dengan penampilan musik dan lagu. Lagu-lagu yang
dibawakan juga terkenal, sehingga para penonton ikut bernyanyi bersama.
Setelah
disuguhi dengan musik, lagu, dan tari, digelar drama “Pongol” yang kian
menambahkan ketertarikan penonton. Saat pementasan drama dimulai,
jumlah penonton juga kian bertambah. Para warga ini berdiri di jalan
hingga berpotensi memacetkan arus lalu lintas. Dengan sigap saat itu
juga panitia mencari tikar dan akhirnya para penonton yang tidak
mendapat tempat bisa duduk lesehan di depan panggung.
Pertunjukan
drama “Pongol” yang sarat dengan nilai tradisi ini kian memukau
penonton. Drama mengisahkan tentang riwayat Manggalae yang mengorbankan
jiwa dalam perang mempertahankan Negeri Uluan. Sang Panglima Perang yang
tangkas melakukannya dengan kesadaran ksatria. Sang ayah, Raja Rahat
berduka setelah melihat tanda Manggalae (putera Mahkota, anak semata
wayang) tak kan kembali.
Tetua
adat, datu-datu, dan tokoh masyarakat membuat patung, roh Manggalae
dipanggil dalam upacara. Sordam dan gondang sabangunan bertalu-talu
pelipur lara sang ayah, hingga ayam berkokok. Legenda ini bertahan walau
zaman terus bergerak membawa modernitas dan kecanggihan tekhnologi.
Legenda ini bersua dengan situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya
yang mengubah wajah peradaban masyarakat Danau Toba.
Setelah
suguhan drama ini, PSB malam itu seolah mendapat puncaknya dengan acara
manortor bersama. Panitia mengajak seluruh penonton, termasuk Wakil
Walikota Medan untuk manortor bersama. Suasana pun jadi gembira. Dan
penonton tampak puas dan terkesan.[rs]
Posting Komentar
Posting Komentar