Ismanu Soemiran Ketua Umum GAPPRI (Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia) |
JAKARTA
| GLOBAL SUMUT-Direktorat Jenderal Bea dan CUkai (DJBC) mencatat
penerimaan cukai sepanjang kuartal I 2017 Rp6,9 triliun, turun 12,7
persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp7,9 triliun. Capaian
penerimaan cukai tersebut juga baru mencapai 4,4 persen dari target
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 Rp 157,2
triliun.
Jika dirinci
dari data penerimaan kuartal I 2017 DJBC, penerimaan cukai terbesar
masih berasal dari cukai hasil tembakau (CHT) Rp5,9 triliun, tetapi baru
mencapai 3,9 persen dari target Rp149,9 triliun.
Disusul
cukai minuman mengandung etil alkohol sebesar Rp982,7 miliar atau 17,8
persen dari target Rp5,5 triliun dan cukai etil alkohol Rp34,54 miliar
atau 23 persen dari target Rp150 miliar. Sedangkan, pendapatan cukai
lainnya baru mencapai Rp12,26 miliar atau 0,8 persen dari target Rp1,6
triliun.
Menanggapi hal
itu, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran, berpendapat, besaran cukai itu
dasar ketetapannya dari APBN. Idealnya, rokok naik linier dengan
inflasi, pertumbuhan dan faktor lain. Menurut Ismanu, setiap kenaikan di
luar pertimbangan tersebut membuat beban industri nasional hasil
tembakau (IHT) menjadi naik, hal ini berdampak kontra produksi.
“Faktor
lain itu yang sulit diprediksikan. Sebab, ini bersifat kebijakan atas
dasar kebutuhan keuangan Negara,” kata Ismanu, dalam keterangan pers,
Senin (17/4).
Mengenai
penurunan di kuartal 1 di atas, dikatakan Ismanu, lebih diakibatkan
oleh kondisi perlambatan secara umum di hampir semua sektor usaha.
Faktor lain, disebabkan oleh masih berlakunya Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 20/PMK.04/2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk
Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan
Pelunasan Dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.
Terkait
rencana Kementerian Keuangan akan menyederhanakan layer menjadi
sembilan layer, dari 12 layer, dalam penetapan tarif cukai rokok,
ditegaskan Ismanu, IHT di Indonesia itu sangat heterogen. Setiap
pengurangan (penyederhanaan) layer akan membawa korban. Korban ini
sangat relatif, tergantung layer yang mana yang disederhanakan.
“Bahwa,
IHT itu memiliki 3 lapis kelas, yakni besar, menengah, dan kecil.
Sementara, pola pasar IHT adalah “pasar kanibalisme”, dimana setiap ada
korban pabrik, bisa menyehatkan pabrik yang lain,” terang Ismanu.
Menurut
Ismanu, sesungguhnya tidak rumit bila jumlah layernya mampu
mengakomodir jumlah varian jenis produksi rokok. IHT Indonesia yang
heterogen, bila layernya sedikit justru menjadi rumit. Oleh karena itu,
Perkumpulan GAPPRI mengusulkan untuk penyederhanaan layer yang
direncanakan Pemerintah harus adil dan berani menunjukkan
keberpihakannya dengan menegakkan keadilan dan genuinitas, mana yang
benar-benar murni industri hasil tembakau lokal.
Ditegaskan
Ismanu, pengertian adil itu bila Pemerintah tidak mengorbankan pabrik
lokal, sebagaimana di Amerika, Pemerintahannya jelas-jelas berpihak
kepada industri lokalnya, yaitu ketika kretek sejak tahun 2010 dilarang
masuk ke Amerika.
“Mudah-mudahan
pemerintah Indonesia berani meniru sikap tegas Amerika yang melindungi
industri lokalnya. Kalau berani itu pemerintah benar-benar menunnjukkan
Indonesia yang berdikari,” tegas Ismanu.
Dukungan Petani
Sementara
itu, terkait Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Banggar DPRi RI yang
tidak melibatkan Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia (Gappri), dinilai tidak tepat dan patut dicurigai bagian
lobi-lobi.Padahal, anggota Gappri merupakan pembayar cukai terbesar
(70%).
Seharusnya
dewan lebih memerhatikan suara-suara dari industri nasional, dalam hal
ini industri rokok kretek nasional, ketimbang hanya meminta pandangan
dari pabrikan rokok putih.
Bahkan, merujuk
data, kontribusi industri pabrikan rokok kretek, mencapai 80% dari total
kontribusi cukai yang disetor ke negara.
Ketua
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji menilai,
pabrikan rokok kretek sudah jelas dari sisi serapan bahan baku lokal
juga tinggi, penyerapan tenaga kerja besar, padat karya. Seharusnya,
pandangannya juga diperhatikan.
Bahkan,
bila perlu, khusus untuk rokok putih atau rokok impor, dikenakan cukai
tinggi sementara rokok kretek dikenakan cukai lebih rendah.
"Kalau
negara mau melindungi harus ada dispartias cukai pengenaan cukai rendah
bagi rokok kretek atau berbahan baku lokal dibandingkan dengan rokok
putih, rokok berbahan baku impor," ujar Agus, Minggu (16/4).
Dengan
begitu, akan ada jaminan keberlangsungan industri kretek dalam negeri
dan tembakau nasional. Apalagi dari sisi penyerapan kandungan tembakau
lokal, industri pabrikan rokok kretek lebih bisa dipertanggungjawabkan.
"Kalau
tidak dibedakan, akan tergeras dari hulu ke hilir. Kretek ini, kan,
Indonesia banget. Ini sebenarnya peperangan korporat multinasional,
untuk itu kami usul ada disparitas, khusus untuk rokok putih, berbahan
baku impor, dikenakan cukai tinggi," tegasnya.
Agus
mewanti-wanti lobi-lobi perusahaan multinasional, yang notabene sudah
mencaplok sejumlah pabrik rokok lokal, untuk mempengaruhi kebijakan. Ia
menegaskan, kementerian keuangan, harus memberi dukungan nyata bagi
produk rokok kretek dalam negeri.
Pemerintah,
seharusnya, juga jangan sungkan menerapkan kebijakan seperti Amerika
yang melindungi rokok putih mereka. Meski WTO menetapkan bahwa
pelarangan rokok kretek ke Amerika menyelahi aturan, namun Amerika tidak
mematuhi, dengan dalih kepentingan industri dalam negeri.
"Amerika
menerapkan aturan larangan rokok aromatic, kemudian Indonesia menggugat
lewat WTO dan menang. Namun Amerika, tidak mematuhi, dengan dalih
melindungi industri. Terapkan saja ha serupa. Jangan dibuat mengambang
kalau memang pemerintah memandang kontribusi tembakau memberi pemasukan
besar ke negara," tandas Agus.[rs]
Posting Komentar
Posting Komentar