GLOBAL SUMUT-Hukum
Pidana Indonesia memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana (model dualistis), jadi tidak menyatukan
keduanya (model monoistis).
Pada pertanggungjawaban pidana sangat terkait erat dengan unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet).
Pada
Pasal 156a huruf a KUHP dituliskan secara expressive verbis dengan
kata-kata "dengan sengaja". Sebaliknya pada Pasal 156 KUHP tidak
disebutkan unsur kesengajaan secara eksplisit. Namun semua ahli hukum
berpendapat, jika tidak disebutkan, maka dianggap ada kesengajaan itu
dan dianggap terbukti jika semua unsur yang disebutkan terbukti.
Dengan
demikian, kesengajaan pada Pasal 156 KUHP mengandung ketiga corak
kesengajaan. Ketiga kesengajaan tersebut bisa sengaja dengan maksud
(opzet als oogmerk), sengaja dengan kepastian (dolus directus) atau
sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis).
Pasal
156a huruf a juga membuka kemungkinan masuknya salah satu corak
kesengajaan tersebut. Adapun pada Pasal 156a huruf b hanya kesengajaan
dengan maksud, secara a contrario, tertutup masuknya kesengajaan dengan
kepastian maupun kesengajaan dengan kemungkinan. Dapat dipahami pada
Pasal 156a terkandung dua bentuk kejahatan. Huruf a bersifat formil
adapun huruf b bersifat materil.
Permasalahannya
mengapa JPU tdk merumuskan sikap batin (mens rea) terdakwa berupa unsur
kesalahan (schuld) dalam wujud kesengajaan itu?
Kesengajaan
sangat penting dan strategis guna memintakan pertanggungjawaban pidana
kepada terdakwa. Jika hal ini tidak terbukti, maka Majelis Hakim akan
memutuskan "lepas dari segala tuntutan hukum".
Padahal
kalau kita cermati pada pada kasus aquo (in casu Basuki T. Purnama
alias Ahok), pada Pasal 156 itu ada kesengajaan kemungkinan. Disini,
terdakwa harus dianggap memenuhi unsur penghinaan terhadap salah satu
golongan penduduk yang berdasarkan agama. Kata-kata "...jadi jangan
percaya sama orang..." dan "...dibodohin gitu...", walaupun tidak
dimaksudkan untuk menghina Ulama dan/atau umat Islam, hanya dimaksudkan
kepada lawan-lawan politiknya, namun timbulnya akibat yang tidak
dikehendaki - penghinaan terhadap Ulama dan/atau umat Islam - merupakan
suatu bentuk dari kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis).
Terdakwa harus bertanggungjawab pada kejadian ini.
Contoh menarik yang dapat menjadi rujukan, dapat dilihat pada kasus kue taart beracun kota Hoorn.
Kemudian,
perlu dicatat bahwa karena dakwaan JPU disusun dalam bentuk alternatif,
maka haruslah ada keterhubungan sistemik antara Pasal 156a huruf a
dengan Pasal 156 KUHP.
Pasal
156 apabila dihubungkan ke Pasal 156a huruf a ada kesengajaan kepastian
(dolus directus). Disini, terlihat terdakwa telah memenuhi unsur Pasal
156 KUHP, namun juga timbul akibat yang tidak dikehendaki, yakni
penodaan terhadap Surah Al-Maidah : 51,, sebagaimana dikategorikan
sebagai perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a huruf a KUHP. Contoh
kasus "Thomas van Bremerhaven" sangat relevan untuk digunakan sebagai
acuan pada perkara ini. Timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dan
sekaligus tidak dapat dihindari dipandang sebagai wujud kesengajaan
kepastian atau keniscayaan.
Dengan
kata-kata "...jadi jangan percaya sama orang..." dan " ... perasaan gak
bisa pilih niihhh, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu..."
adalah jelas memposisikan Ulama dan/atau umat Islam yang menyampaikan
makna kandungan Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai pembohong dengan
menggunakan Al-Maidah ayat 51 secara tidak benar alias salah. Al-Maidah
ayat 51 adalah benar, sepanjang dimaknai atau ditafsirkan sesuai dengan
pendapatnya. Dengan lain perkataan, "sepanjang diartikan lain, maka itu
adalah suatu kebohongan." Pada buku terdakwa "Merubah Indonesia" halaman
40, paragraf ke-4, ungkapan perasaan tersebut telah disampaikan.
Terdakwa,
telah menggunakan Al - Maidah ayat 51 sebagi "alat kebohongan" dan
termasuk bentuk kesengajaan dengan kepastian. Kata "pake", yang sempat
menjadi polemik, menurutnya penulis justru menjustikasi hal tersebut.
Lebih
lanjut kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk) pada Pasal 156a
huruf a KUHP diwujudkan dengan menjadikan Al - Maidah ayat 51 sebagai
"sumber kebohongan". Disini terdakwa memang menghendaki dan sekaligus
mengetahui baik perkataan maupun akibat dari perkataannya tersebut.
Terlihat jelas terdakwa memang memiliki niat jahat (dolus malus) untuk
menghina Surah Al-Maidah ayat 51. Niat jahat tersebut terkait erat
dengan motif yakni kekesalannya terhadap Surah Al-Maidah yang
menyebabkan kekalahannya pada Pilkada Babel tahun 2007 yang lalu.
Dalam
menghadapi Pilkada Jakarta tahun 2017, ia sudah mempersiapkan rencana
untuk mendapatkan dukungan umat Islam, yakni dengan upaya agar umat
Islam tidak mempercayai perintah "wajib memilih Gubernur Muslim." Niat
itu sudah terekam dalam buku "Merubah Indonesia", tepatnya pada halaman
40, yang ditulisnya pada tahun 2008.
Perlu
dicatat, perihal niat dalam ilmu hukum pidana dimasukkan dalam konteks
"percobaan" (pogging), bukan pada delik yang sudah selesai.
Niat
memang tidak sama dengan kesengajaan. Akan tetapi, apabila niat sudah
ditunaikan dalam bentuk perbuatan dengan sengaja, maka sudah pasti
didalam kesengajaan itu terkandung niat. Oleh karenanya, niat tidak
perlu dibuktikan, cukup kesengajaannya saja.
Hampir
semua tulisan ini telah saya jelaskan secara terang benderang ketika
saya memberikan keterangan dipersidangan sebagai Ahli Hukum Pidana
'yang memberatkan' terdakwa.
Namun, hari ini saya sangat kecewa mendengar substansi Surat Tuntutan JPU yang tidak mengkonstruksikan kesengajaan ini.
Tidak
berhenti disini, kekecewaan masyarakat dan termasuk diri penulis
mendengar tuntutan yang didasarkan pada Pasal 156 KUHP, adalah tidak
logis dan sangat aneh. Apalagi tuntutan pidana selama 1 (satu) tahun
dengan masa percobaan selama 2 (dua) tahun, telah mencederai rasa
keadilan masyarakat.
Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
(Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI)
Otista, Jakarta Timur.
20 April 2017.
Posting Komentar
Posting Komentar