JAKARTA | GLOBAL SUMUT-Setelah menjadi perbincangan publik di dua bulan
terakhir, kenaikan tarif cukai hasil tembakau akhirnya terlaksana.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan besarnya tarif cukai untuk
tahun 2017 di Kantor Pusat Bea Cukai, Jumat (30/09).
Menurut Sri Mulyani, pemerintah menyadari bahwa rokok merugikan kesehatan masyarakat sehingga harus dibatasi. Hal ini sejalan dengan prinsip pengenaan cukai yaitu untuk mengendalikan konsumsi dan mengawasi peredaran. Selain aspek kesehatan, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek lain dari rokok, yaitu tenaga kerja, peredaran rokok ilegal, petani tembakau, dan penerimaan negara. Oleh karena itu, menurutnya seluruh aspek tersebut perlu dipertimbangkan secara komprehensif dan berimbang dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok.
“Untuk kepentingan kesehatan, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di tahun 2016. Tak hanya itu, pertumbuhan produksi Hasil Tembakau pun telah dikendalikan, sehingga selama 10 tahun terakhir menunjukkan tren yang negatif yaitu sebesar -0,28%, dimana pada saat yang bersamaan jumlah penduduk Indonesia tumbuh sebesar 1,4%,” ujar Sri Mulyani. Hal ini membuktikan bahwa secara riil pemerintah dapat menekan konsumsi rokok secara cukup signifikan. Hal tersebut sejalan dengan studi oleh Djutaharta pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa ada korelasi antara kenaikan cukai dengan penurunan konsumsi rokok.
Dari aspek ketenagakerjaan, kebijakan cukai juga berdampak pada keberlangsungan lapangan pekerjaan sektor formal sebesar 401.989 orang, dimana tiga perempatnya atau 291.824 orang terlibat di produksi Sigaret Kretek Tangan yang merupakan industri padat karya. Jika ditambah dengan sektor informal, maka kebijakan ini berdampak pada kehidupan 2,3 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau, dan 1 juta pedagang eceran. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan cukai memberikan pengaruh berarti terhadap kehidupan lebih dari 5,8 juta masyarakat Indonesia. Data ini juga didukung oleh studi LPEM UI tahun 2013 bahwa kebijakan cukai berpengaruh langsung terhadap lebih dari 6 juta orang.
Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan bahwa Kementerian Keuangan c.q. Bea Cukai berkomitmen untuk mengamankan kebijakan cukai secara maksimal, dengan cara melakukan penindakan rokok ilegal. “Hingga 29 September 2016 saja, Bea Cukai telah melakukan penindakan terhadap 1.593 kasus hasil tembakau ilegal. Angka ini meningkat 1,29 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2015 (1232 kasus) dan 1,76 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2014 (901 kasus). Dari Januari 2016 hingga saat ini, Bea Cukai berhasil mengamankan 176,22 juta batang rokok senilai Rp135,55 Miliar, dimana jumlah pelanggaran terbanyak berasal dari jenis rokok yang diproduksi dengan mesin,” ujarnya. Ia juga mengaitkan data tersebut dengan Studi tim PSEKP UGM tahun 2015 yang menyebutkan bahwa peningkatan pengawasan berpengaruh positif terhadap efektivitas kebijakan cukai.
Berbicara soal penerimaan negara, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kontribusi cukai terhadap APBN hingga kini berada pada kisaran 10-12%. Untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap APBN adalah sebesar 12,29%, tahun 2015 sebesar 11,68%, dan tahun 2016 sebesar 11,72%. Walau berkontribusi cukup besar, namun angka dan peranannya menunjukkan penurunan yang berarti.
Kebijakan yang menyangkut aspek kesehatan adalah dalam bentuk pengembalian sebagian dana ke pemerintah daerah berupa dana alokasi kesehatan, atau dikenal dengan istilah earmarking. Di tahun 2014 dana earmarking sebesar 11,2 Triliun, tahun 2015 sebesar 15,14 Triliun, dan tahun 2016 diperkirakan sebesar 17 Triliun. “Adanya peningkatan pada jumlah dana yang dialokasikan, menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap aspek kesehatan. Disamping untuk kesehatan, dana tersebut juga diperuntukkan pada persiapan pengalihan orang yang bekerja dalam industri rokok untuk beralih ke industri lain,” jelasnya.
Untuk tahun 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 147/PMK.010/2016. Dalam kebijakan baru ini menyebutkan kenaikan tarif tertinggi adalah sebesar 13,46 % untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah sebesar 0 % untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54%. Selain kenaikan tarif, juga kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%. Hal utama yang menjadi pertimbangan kenaikan adalah pengendalian produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai.
Masih menurut Sri Mulyani, kebijakan tersebut sudah dibicarakan dengan berbagai stakeholder, baik pihak yang peduli dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi pengusaha rokok. Selain itu juga dilakukan pertemuan dan diskusi dengan pemerintah daerah, yayasan, dan universitas. Dari pertemuan dan diskusi yang diselenggarakan, ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai merupakan langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengendalian konsumsi dan produksi. Kenaikan tersebut harus berimbang, sehingga tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi industri kecil.
Selain itu, dalam rangka pengamanan di bidang cukai, pemerintah pada tahun ini meningkatkan pengawasan khususnya terkait dengan peredaran mesin pembuat rokok. Hal ini sejalan dengan data intelijen dan hasil survei bahwa pelanggaran yang paling besar adalah rokok sigaret kretek mesin (SKM). Untuk menjamin efektivitas dan juga menghasilkan outcome yang diharapkan, Bea Cukai akan melakukan pendataan mesin pembuat rokok bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan instansi lainnya.
“Kami berharap hal ini dapat berkorelasi positif dengan penerimaan dari sektor cukai. Di tahun 2017, ditargetkan penerimaan cukai sebesar 149,8 Triliun, yang merupakan 10,01% dari total penerimaan perpajakan. Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih cukup signifikan. Artinya, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengamankan kebijakan cukai. Karena apabila meleset, akan langsung berkaitan dengan APBN yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembangunan nasional,” tegasnya.
Selain mengumumkan besaran tarif cukai untuk tahun 2017, dalam kesempatan yang sama Sri Mulyani didampingi Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi juga menggelar konferensi pers hasil penindakan di bidang cukai. Penindakan yang dilaksanakan di Jakarta dan Klaten, Jawa Tengah tersebut menghasilkan tangkapan berupa rokok ilegal sejumlah 11.266.600 batang dan satu buah mesin pembuat rokok merek Shenzen yang berkapasitas produksi 1.500 batang rokok per menit. “Hal yang menjadi atensi kita bersama ialah rokok ilegal sangat membahayakan kesehatan dan ketersediaan lapangan pekerjaan, karena mempengaruhi jumlah produksi rokok legal,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah harus memberi ruang pengusaha tembakau lokal untuk menjual produknya pada industri rokok, sambil juga menyusun langkah-langkah agar petani tembakau dan pihak-pihak yang terkait beralih pada industri lain. Untuk itu, pemerintah akan menyusun tata niaga impor tembakau. Selain itu pemerintah merancang kebijakan terkait industri rokok agar dapat mengalihkan dari pasar domestik ke pasar internasional, melalui kebijakan pemberian fasilitas dalam bentuk kawasan berikat atau fasilitas lainnya.
Untuk memastikan bahwa kebijakan ini efektif dan sesuai dengan yang diharapkan, Kementerian Keuangan c.q Bea Cukai akan melakukan usaha yang lebih optimal, terutama yang berkaitan dengan pengawasan produksi dan peredaran rokok. Oleh karena itu, pemerintah mengharapkan dukungan semua pihak, khususnya dari aparat penegak hukum dan masyarakat.(GBS)
Menurut Sri Mulyani, pemerintah menyadari bahwa rokok merugikan kesehatan masyarakat sehingga harus dibatasi. Hal ini sejalan dengan prinsip pengenaan cukai yaitu untuk mengendalikan konsumsi dan mengawasi peredaran. Selain aspek kesehatan, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek lain dari rokok, yaitu tenaga kerja, peredaran rokok ilegal, petani tembakau, dan penerimaan negara. Oleh karena itu, menurutnya seluruh aspek tersebut perlu dipertimbangkan secara komprehensif dan berimbang dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok.
“Untuk kepentingan kesehatan, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di tahun 2016. Tak hanya itu, pertumbuhan produksi Hasil Tembakau pun telah dikendalikan, sehingga selama 10 tahun terakhir menunjukkan tren yang negatif yaitu sebesar -0,28%, dimana pada saat yang bersamaan jumlah penduduk Indonesia tumbuh sebesar 1,4%,” ujar Sri Mulyani. Hal ini membuktikan bahwa secara riil pemerintah dapat menekan konsumsi rokok secara cukup signifikan. Hal tersebut sejalan dengan studi oleh Djutaharta pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa ada korelasi antara kenaikan cukai dengan penurunan konsumsi rokok.
Dari aspek ketenagakerjaan, kebijakan cukai juga berdampak pada keberlangsungan lapangan pekerjaan sektor formal sebesar 401.989 orang, dimana tiga perempatnya atau 291.824 orang terlibat di produksi Sigaret Kretek Tangan yang merupakan industri padat karya. Jika ditambah dengan sektor informal, maka kebijakan ini berdampak pada kehidupan 2,3 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau, dan 1 juta pedagang eceran. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan cukai memberikan pengaruh berarti terhadap kehidupan lebih dari 5,8 juta masyarakat Indonesia. Data ini juga didukung oleh studi LPEM UI tahun 2013 bahwa kebijakan cukai berpengaruh langsung terhadap lebih dari 6 juta orang.
Lebih lanjut Sri Mulyani menjelaskan bahwa Kementerian Keuangan c.q. Bea Cukai berkomitmen untuk mengamankan kebijakan cukai secara maksimal, dengan cara melakukan penindakan rokok ilegal. “Hingga 29 September 2016 saja, Bea Cukai telah melakukan penindakan terhadap 1.593 kasus hasil tembakau ilegal. Angka ini meningkat 1,29 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2015 (1232 kasus) dan 1,76 kali dibanding penindakan di sepanjang tahun 2014 (901 kasus). Dari Januari 2016 hingga saat ini, Bea Cukai berhasil mengamankan 176,22 juta batang rokok senilai Rp135,55 Miliar, dimana jumlah pelanggaran terbanyak berasal dari jenis rokok yang diproduksi dengan mesin,” ujarnya. Ia juga mengaitkan data tersebut dengan Studi tim PSEKP UGM tahun 2015 yang menyebutkan bahwa peningkatan pengawasan berpengaruh positif terhadap efektivitas kebijakan cukai.
Berbicara soal penerimaan negara, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kontribusi cukai terhadap APBN hingga kini berada pada kisaran 10-12%. Untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap APBN adalah sebesar 12,29%, tahun 2015 sebesar 11,68%, dan tahun 2016 sebesar 11,72%. Walau berkontribusi cukup besar, namun angka dan peranannya menunjukkan penurunan yang berarti.
Kebijakan yang menyangkut aspek kesehatan adalah dalam bentuk pengembalian sebagian dana ke pemerintah daerah berupa dana alokasi kesehatan, atau dikenal dengan istilah earmarking. Di tahun 2014 dana earmarking sebesar 11,2 Triliun, tahun 2015 sebesar 15,14 Triliun, dan tahun 2016 diperkirakan sebesar 17 Triliun. “Adanya peningkatan pada jumlah dana yang dialokasikan, menunjukkan besarnya perhatian pemerintah terhadap aspek kesehatan. Disamping untuk kesehatan, dana tersebut juga diperuntukkan pada persiapan pengalihan orang yang bekerja dalam industri rokok untuk beralih ke industri lain,” jelasnya.
Untuk tahun 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 147/PMK.010/2016. Dalam kebijakan baru ini menyebutkan kenaikan tarif tertinggi adalah sebesar 13,46 % untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah sebesar 0 % untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54%. Selain kenaikan tarif, juga kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%. Hal utama yang menjadi pertimbangan kenaikan adalah pengendalian produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai.
Masih menurut Sri Mulyani, kebijakan tersebut sudah dibicarakan dengan berbagai stakeholder, baik pihak yang peduli dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi pengusaha rokok. Selain itu juga dilakukan pertemuan dan diskusi dengan pemerintah daerah, yayasan, dan universitas. Dari pertemuan dan diskusi yang diselenggarakan, ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai merupakan langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengendalian konsumsi dan produksi. Kenaikan tersebut harus berimbang, sehingga tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi industri kecil.
Selain itu, dalam rangka pengamanan di bidang cukai, pemerintah pada tahun ini meningkatkan pengawasan khususnya terkait dengan peredaran mesin pembuat rokok. Hal ini sejalan dengan data intelijen dan hasil survei bahwa pelanggaran yang paling besar adalah rokok sigaret kretek mesin (SKM). Untuk menjamin efektivitas dan juga menghasilkan outcome yang diharapkan, Bea Cukai akan melakukan pendataan mesin pembuat rokok bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan instansi lainnya.
“Kami berharap hal ini dapat berkorelasi positif dengan penerimaan dari sektor cukai. Di tahun 2017, ditargetkan penerimaan cukai sebesar 149,8 Triliun, yang merupakan 10,01% dari total penerimaan perpajakan. Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih cukup signifikan. Artinya, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengamankan kebijakan cukai. Karena apabila meleset, akan langsung berkaitan dengan APBN yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembangunan nasional,” tegasnya.
Selain mengumumkan besaran tarif cukai untuk tahun 2017, dalam kesempatan yang sama Sri Mulyani didampingi Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi juga menggelar konferensi pers hasil penindakan di bidang cukai. Penindakan yang dilaksanakan di Jakarta dan Klaten, Jawa Tengah tersebut menghasilkan tangkapan berupa rokok ilegal sejumlah 11.266.600 batang dan satu buah mesin pembuat rokok merek Shenzen yang berkapasitas produksi 1.500 batang rokok per menit. “Hal yang menjadi atensi kita bersama ialah rokok ilegal sangat membahayakan kesehatan dan ketersediaan lapangan pekerjaan, karena mempengaruhi jumlah produksi rokok legal,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah harus memberi ruang pengusaha tembakau lokal untuk menjual produknya pada industri rokok, sambil juga menyusun langkah-langkah agar petani tembakau dan pihak-pihak yang terkait beralih pada industri lain. Untuk itu, pemerintah akan menyusun tata niaga impor tembakau. Selain itu pemerintah merancang kebijakan terkait industri rokok agar dapat mengalihkan dari pasar domestik ke pasar internasional, melalui kebijakan pemberian fasilitas dalam bentuk kawasan berikat atau fasilitas lainnya.
Untuk memastikan bahwa kebijakan ini efektif dan sesuai dengan yang diharapkan, Kementerian Keuangan c.q Bea Cukai akan melakukan usaha yang lebih optimal, terutama yang berkaitan dengan pengawasan produksi dan peredaran rokok. Oleh karena itu, pemerintah mengharapkan dukungan semua pihak, khususnya dari aparat penegak hukum dan masyarakat.(GBS)
Posting Komentar
Posting Komentar