MEDAN
| GLOBAL SUMUT-Kelompok penganut agama leluhur mengaku sering
diperlakukan tidak adil oleh negara dengan menghilangkan hak-hak akses
pelayanan publik, ekonomi dan kesehatan. Penganut Ugamo Bangso Batak,
Arnold Purba mengatakan, bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah tidak
berlaku lagi, terbukti dengan banyaknya diskriminasi yang diterima oleh
penganut Ugamo Bangso Batak.
“Kami
ingin dalam kolom agama ditulis kepercayaan, bukan sebagai agama Islam,
Kristen, Konghucu dan bukan dikosongkan,” ungkapnya dalam Diskusi Media
dan Agama Lokal di Sumut, yang digelar AJI Medan bekerjasama dengan
Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) didukung oleh Yayasan Tifa,
di Medan Arnold mengungkapkan, jumlah penganut Ugamo Bangso Batak di
Medan Belawan mencapai 200 kepala keluarga. Dia mengungkapkan cukup
banyak penganut agama leluhur yang miskin dan kurang mendapatkan
perhatian dari pemerintah daerah. Dia juga menceritakan tentang
perjuangan meningkatkan kualitas hidup keluarga melalui membangun
pendidikan anak sampai ke jenjang sarjana. Namun, setelah gelar sarjana
berhasil diperoleh oleh anak Arnold, hak untuk bersaing dalam meraih
pekerjaan pun dihilangkan.
“Saat
melamar kerja, anak saya menulis bahwa agama yang dianut adalah
kepercayaan. Sehingga perusahaan tempat melamar kerja langsung tidak
mengizinkan mengikuti tes pelamaran,” tutur Arnold.
Dalam
kesempatan yang sama, Pendiri dan Konsultan Aliansi Sumut Bersatu (ASB)
Veryanto Sitohang mengatakan aparat negara sangat sering melakukan
pemiskinan kepada penganut agama leluhur. Menurutnya, akses dalam
pembuatan KTP, akte nikah, politik dan ekonomi sering dihambat.
“Penganut
agama leluhur jadi sulit untuk berinteraksi, malah cenderung dianggap
eksklusif, aneh dan sesat,” ucap Veryanto. Veryanto menyangkan atas
inkonsistensi pemerintah pusat dalam membuat kebijakan dan sikap aparat
pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten yang melakukan diskriminasi.
Dia mengatakan saat aparat negara melakukan diskriminasi, maka negara
telah melanggar Konstitusi UUD 1945.
Dalam
Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28E ditulis bahwa
setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta
berhak kembali.
Selain
itu, ada juga Undang-undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pasal 4 berbunyi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun.
Minimnya
akses ekonomi serta pelayanan publik yang diberi kepada penganut agama
kepercayaan telah menurunkan kesejahteraan warga.
Sementara
itu, Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saidiman
Ahmad mengatakan, saat ini Pemerintah sedang gencar membangun ekonomi
dari desa. Dia mengungkapkan, bahwa Pemerintah tidak boleh lupa bahwa
isu ekonomi tidak bisa dipisakan dengan agama.
“Sangat
banyak penganut kepercayaan yang tidak memiliki akses yang sama dengan
penganut enam agama yang dicatat legal oleh pemerintah,” ucapnya.
Solusi
untuk menghilangkan diskriminasi kepada penganut agama leluhur,
katanya, bukan dengan menambah agama yang legal. Menurutnya, semakin
banyak agama yang diakui maka akan semakin banyak dirjen agama-agama.
Saat ini, hal yang ingin diperjuangkan dalam jangka panjang untuk
menghilangkan diskriminasi terhadap minoritas, kata Saidiman, dengan
menghilangkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP).
Menurutnya,
diskriminasi tersebut dimulai pada buruknya administrasi dari aparat
negara. Dia mengatakan masyarakat yang memiliki tergolong dalam kelompok
penganut kepercayaan leluhur tidak boleh dihilangkan hak-hak sipilnya.
Saidiman
mengatakan, telah ada undang-undang yang mengatur bahwa hak asasi
manusia yang merupakan hak dasar tidak boleh dihilangkan. Hal itu diatur
dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil and
Politic Rights).ulfah
Posting Komentar
Posting Komentar