MEDAN | GLOBAL SUMUT-DPRD Kota Medan menyarankan kepada Pemerintah Kota Medan agar
pemakaian baju teluk belanga dijadikan sebagai pakaian resmi hari kerja
di jajaran Pemko Medan, sebagai bentuk jati diri dan ciri khas kota.
“Medan ini kan Tanah Deli, setidaknya adalah ciri khas yang melambangkannya. Kita berharap, setidaknya teluk belanga itu dikenakan pada hari Jumat,” pinta Anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Demokrat Dianto MS di Medan, Kamis (4/9/2014).
Wakil Ketua Komisi C ini beralasan, pada setiap tahun anggaran baik di R-APBD maupun di P-APBD selalu ada ditampung atau dianggarkan untuk belanja pegawai pada nomenklatur tertentu dan salah satunya belanja pakaian.
“Nah, kalau belanja pakaian itu dibuat untuk pakaian teluk belanga, kan tidak salah,” katanya.
Memang, sebut politisi Partai Demokrat dari Dapil V ini, beberapa ikon kedaerahan ada terlihat di Kota Medan. Namun, katanya, itu hanya bersifat benda ataupun bangunan peninggalan sejarah.
“Maksud kita hanya menunjukkan ciri kedaerahan dan bukan mengkultuskan atau mendikotomikan etnis tertentu yang bemukim di Kota Medan. Tapi, sebagai tuan rumah, saya kira tidak ada salahnya untuk dilakukan,” sebutnya.
Selama ini, pakaian aparatur di Pemko Medan secara keseluruhan masih bersifat nasional dan belum ada menunjukkan kedaerahan.
“Lihat saja sendiri, Senin pakaian Linmas (hijau), Selasa dan Rabu pakaian pegawai (coklat) serta Kamis dan Jumat (batik). Ini kan masih bersifat nasional,” ungkap Dianto.
Dianto mencontohkan, seperti DKI Jakarta dimana pada setiap hari Rabu seluruh pegawai di jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diwajibkan mengenakan pakaian adat Betawi yang diperkuat dengan sebuah Peraturan Gubernur (Pergub).
Menurut Dianto, dengan diterapkannya pemakaian pakaian adat Melayu, menunjukkan Kota Medan memiliki identitas dan karakter budaya.
“Sewajarnya, di dalam sebuah kota harus memiliki identitas dan karakter budaya," ujarnya.
Tradisi menumbuhkan budaya ke-Melayu-an itu, tambah Dianto, dapat dimulai di jajaran Pemko Medan terlebih dahulu.
"Kalau bukan kita yang menghargai, siapa lagi. Yang menghargai budaya kita, harus dimulai dari kita sendiri. Kalau tidak, kita akan lupa nanti, termasuk yang muda-muda,” ungkapnya. (Red/GS/Mdn)
“Medan ini kan Tanah Deli, setidaknya adalah ciri khas yang melambangkannya. Kita berharap, setidaknya teluk belanga itu dikenakan pada hari Jumat,” pinta Anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Demokrat Dianto MS di Medan, Kamis (4/9/2014).
Wakil Ketua Komisi C ini beralasan, pada setiap tahun anggaran baik di R-APBD maupun di P-APBD selalu ada ditampung atau dianggarkan untuk belanja pegawai pada nomenklatur tertentu dan salah satunya belanja pakaian.
“Nah, kalau belanja pakaian itu dibuat untuk pakaian teluk belanga, kan tidak salah,” katanya.
Memang, sebut politisi Partai Demokrat dari Dapil V ini, beberapa ikon kedaerahan ada terlihat di Kota Medan. Namun, katanya, itu hanya bersifat benda ataupun bangunan peninggalan sejarah.
“Maksud kita hanya menunjukkan ciri kedaerahan dan bukan mengkultuskan atau mendikotomikan etnis tertentu yang bemukim di Kota Medan. Tapi, sebagai tuan rumah, saya kira tidak ada salahnya untuk dilakukan,” sebutnya.
Selama ini, pakaian aparatur di Pemko Medan secara keseluruhan masih bersifat nasional dan belum ada menunjukkan kedaerahan.
“Lihat saja sendiri, Senin pakaian Linmas (hijau), Selasa dan Rabu pakaian pegawai (coklat) serta Kamis dan Jumat (batik). Ini kan masih bersifat nasional,” ungkap Dianto.
Dianto mencontohkan, seperti DKI Jakarta dimana pada setiap hari Rabu seluruh pegawai di jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diwajibkan mengenakan pakaian adat Betawi yang diperkuat dengan sebuah Peraturan Gubernur (Pergub).
Menurut Dianto, dengan diterapkannya pemakaian pakaian adat Melayu, menunjukkan Kota Medan memiliki identitas dan karakter budaya.
“Sewajarnya, di dalam sebuah kota harus memiliki identitas dan karakter budaya," ujarnya.
Tradisi menumbuhkan budaya ke-Melayu-an itu, tambah Dianto, dapat dimulai di jajaran Pemko Medan terlebih dahulu.
"Kalau bukan kita yang menghargai, siapa lagi. Yang menghargai budaya kita, harus dimulai dari kita sendiri. Kalau tidak, kita akan lupa nanti, termasuk yang muda-muda,” ungkapnya. (Red/GS/Mdn)
Posting Komentar
Posting Komentar