MEDAN LABUHAN | GLOBAL SUMUT - Jika berwisata ke Kota Medan, Sumatera Utara, bolehlah luangkan waktu
untuk mengunjungi tempat bersejarah yang juga merupakan bukti kejayaan
Islam di Tanah Deli. Tempat bersejarah itu bernama Masjid Al Osmani,
yang juga di kenal oleh sebagian besar masyarakat Kota Medan dengan
sebutan Masjid Labuhan.
Masjid yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Medan
itu merupakan salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Melayu Deli pada
abad ke-19 Masehi. Tidak ada pungutan biaya untuk masuk ke tempat ibadah
yang juga menjadi objek wisata yang terletak di Jalan KL Yos Sudarso,
Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan.
Mesjid tertua di Kota Medan itu dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ke
tujuh, yakni Sulthan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu
pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan
kayu itu dibangun menjadi permanen oleh anak Sulthan Osman, yakni
Sulthan Mahmud Perkasa Alam yang juga menjadi Raja Deli kedelapan.
Menurut pengurus Masjid Al Osmani, Ahmad Faruni, ketika itu rakyat
dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual
rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan
Sulthan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk
menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah.
Sulthan pun menyewa tenaga arsitek dari Belanda dan Jerman untuk
membangun kembali mesjid dengan bahan bangunan yang terbuat dari batu,
kapur, dan garam yang dicampur dengan putih telur. Dengan usia mencapai
138 tahun, masjid bercat kuning dan hijau sebagai warna kebesaran Melayu
dan Islam itu pun sempat mengalami beberapa kali renovasi dan
pemugaran.
Namun semua itu tidak menghilangkan arsitektur asli yang merupakan
perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China.
Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara,
timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh para raja
deli.
Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil
yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu
mengapit pintu utama.
Di bagian dalam masjid yang sanggup menampung 500 jamaah itu terdapat
empat tiang besar dan kokoh yang berfungsi sebagai penyangga utama
kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid
lain.
Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat
kenabian, yakni sidiq yang berarti benar, amanah yang berarti dapat
dipercaya, fathonah yang berarti pintar, dan tabligh yang berarti
menyampaikan.
Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu
juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan
dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal
dari Medan utara.
Sementara itu pada perkuburan wakaf masjid juga terdapat lima makam
raja deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV),
Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa
Alam (Raja Deli VI), Sulthan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud
Perkasa Alam.
Di seberang masjid itu, dulu, ada Istana Kerajaan Melayu Deli. Istana
kerajaan itu dibangun ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat
kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung
Alai, sebutan untuk Labuhan Deli.
Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad
Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian
untuk empat putranya.
Masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan dengan Istana Kerajaan
Melayu di Labuhan Deli berlangsung pada 1728-1761, yang kemudian
diteruskan putranya Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805) dan Sulthan
Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850).
Lalu Sulthan Osman Perkasa Alam (1850-1858), Sulthan Mahmud Perkasa
Alam (1858-1873), dan Sulthan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).
Pada masa Sulthan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam itulah Istana
Kerajaan Melayu dipindah kembali ke daerah Padang Datar dengan
dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.
Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10
September 1909.
Hal itu dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai
Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sulthan Mahmud Perkasa
Alam.
Sang Raja terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah pada 1863 untuk ditanami tembakau deli.
Kini, Masjid Al Osmani merupakan bukti perjalanan panjang sejarah
kejayaan Melayu di Kota Medan. Bangunan itu hingga saat ini masih
berdiri kokoh
Posting Komentar
Posting Komentar